Follow Now......!

Senin, 18 Juni 2012

STP Bunga Penagihan


Proses penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh fihak Ditjen Pajak agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Utang pajak di sini adalah pajak sebagaimana tercantum dalam dokumen-dokumen yang menjadi dasar penagihan pajak. 

Dokumen-dokumen tersebut adalah :
  • Surat Tagihan Pajak (STP)
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
  • Surat Keputusan Pembetulan
  • Surat Keputusan Keberatan
  • Putusan Banding, dan
  • Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Sesuai dengan Pasal 9 ayat (3) UU KUP, masing-masing dokumen-dokumen pajak tersebut harus dilunasi satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Dengan kata lain, tanggal jatuh tempo dokumen-dokumen pajak tersebut adalah satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Apabila utang pajak yang tercatum dalam dokumen-dokumen tersebut tidak dilunasi dalam jangka waktu satu bulan, maka proses penagihan pajak mulai berjalan. Salah satu proses yang dilakukan oleh fihak aparat pajak adalah dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga Penagihan untuk menagih bunga atas utang pajak yang tidak/kurang/terlambat dibayar.
Berdasarkan Pasal 19 UU KUP, STP Bunga Penagihan ini diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :
Pertama
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00, dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp  6.000.000,00 sehingga masih kurang kurang dibayar = Rp  4.000.000,00. Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) = Rp   80.000,00.
Kedua
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut: angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00.angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00.angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
Ketiga
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Sumber : http://dudiwahyudi.com/pajak/ketentuan-umum-dan-tatacara-perpajakan/stp-penagihan.html

Penghapusan Piutang Pajak



Piutang Pajak yang dapat dihapuskan adalah :

  1. Piutang pajak yang tercantum dalam:
    1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);
    2. Surat Ketetapan Pajak (SKP);
    3. Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT);
    4. Surat Tagihan Pajak (STP);
    5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
    6. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar -Tambahan (SKPKBT);
    7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB);
    8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT);
    9. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (STB);
    10. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan Banding.
    yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; atau
  2. Piutang pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang menurut data administrasi Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena :
    1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan;
    2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi;
    3. penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian salinan Surat Paksa kepada penanggung Pajak melalui Pemerintah Daerah setempat;
    4. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
    5. sebab lain sesuai hasil penelitian.
  3. Piutang pajak Wajib Pajak Badan yang menurut data administrasi Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena :
    1. Wajib Pajak bubar, likuidasi , atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan;
    2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;
    3. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, atau Pemerintah Daerah setempat, baik secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media massa;
    4. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa; atau
    5. sebab lain sesuai hasil penelitian.
Sumber : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan

Pencegahan


Pengertian Pencegahan dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa dan kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3
Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 adalah larangan yang bersifat
sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Syarat Pencegahan
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa diatur bahwa Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung
Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam
melunasi utang pajak.
Dengan demikian, Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan
keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri atas permintaan Pejabat atau
atasan Pejabat yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
menegaskan bahwa Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penagihan
pajak. Namun, agar pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka
pelaksanaan pencegahan sebagai upaya penagihan pajak diberikan syarat-syarat,
baik yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah
tertentu, maupun yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baiknya dalam
melunasi utang pajak sehingga pencegahan hanya dilaksanakan secara sangat
selektif dan hati-hati. Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa. Dengan demikian,
pencegahan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak. Oleh
karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan pencegahan,
tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dapat dilaksanakan. Yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Undangundang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, yang, antara lain menentukan
bahwa yang berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri
sepanjang menyangkut urusan piutang negara.


Sumber : Advianto, LY Hari Sih. (2008). Modul Tindakan Penagihan Pajak. Jakarta: Pusdiklat Pajak

Lelang


Lelang menurut Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran
harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon
pembeli. Sementara pelaksanaan penjualan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan tersebut dijelaskan
pengertian lelang yaitu penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan
penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau
menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman
Lelang. Selanjutnya pengertian Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan kepada
masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun
peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.
Penjualan lelang mempunyai tujuan agar penjualan barang hasil sitaan
menjadi terbuka, dan dapat membentuk harga wajar, serta secara tidak langsung
masyarakat dapat ikut mengawasi pelaksanaan lelang tersebut. Selain itu, penjualan
melalui lelang juga dimaksudkan agar penjualan barang yang merupakan wujud
eksekusi dari tindakan penagihan dapat diketahui masyarakat dan dapat
menimbulkan efek jera bagi Penanggung Pajak, serta memberikan detterent effect
bagi masyarakat Wajib Pajak.
Syarat lelang adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan
lelang, hal tersebut diatur dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.06/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 174/PMK.06/2010 diatur bahwa Penjual/Pemilik Barang dapat mengajukan
syarat-syarat lelang tambahan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. jangka waktu bagi peserta lelang untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang
akan dilelang;
b. jangka waktu pengambilan barang oleh Pembeli; dan/atau
c. jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang
(aanwijzing).


Sumber : Advianto, LY Hari Sih. (2008). Modul Tindakan Penagihan Pajak. Jakarta: Pusdiklat Pajak

Sabtu, 16 Juni 2012

JENIS PAJAK & FUNGSINYA


Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

1.Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2.Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

3.Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :

a.Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b.Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c.Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d.Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e.Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4.Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5.Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

6.Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1.Pajak Propinsi

a.Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b.Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c.Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d.Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2.Pajak Kabupaten/Kota
a.Pajak Hotel;
b.Pajak Restoran;
c.Pajak Hiburan;
d.Pajak Reklame;
e.Pajak Penerangan Jalan;
f.Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g.Pajak Parkir.

Manfaat Pajak 

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.